Nikmat Mana yang Kau Dustakan

Ketika begitu banyak menerima kabar bahagia, ada dua hal besar yang terjadi. Pertama bersyukur. Kedua mawas diri. Kedua rasa itu otomatis melintas di hati dan pikiran. Menumbuhkan kesadaran. 

Rasa syukur menuntun untuk berucap alhamdulillah dibarengi rasa haru. Berterima kasih kepada Yang Menciptakan Kebahagiaan. Hal ini bukti betapa rahman sang Pencipta kepada umatNya.

Rasa syukur juga menimbulkan rasa yang lain, yakni mawas diri. Layakkah aku menerima kebahagiaan ini? Hal itu didasari oleh pengakuan bahwa diri ini adalah pendosa yang teramat sering abai terhadap perintahNya. Dan teramat sering asyik masyuk dengan syahwat dunia. 

Betapa banyak hal yang menjadi alasan untuk abai. Pertama alasan keluarga. Keluarga sadar atau tidak sering memberi ruang untuk mengabaikan perintahNya. Tak bisa disebutkan satu persatu karena demikian banyaknya. Sebagai contoh ketika anak melakukan kesalahan, sebagian orang tua secara membabi buta tetap membela anaknya, menyatakan anaknya tidak melakukan kesalahan, orang lainlah yang bersalah (menuduh tanpa bukti), dan menyatakan anaknya seorang yang baik (pernyataan yang belum tentu kebenarannya). Rasa sayang kepada anak menjadi peluang untuk abai terhadap hal itu.

Kedua pekerjaan. Dunia kerja penuh dinamika. Aroma persaingan dalam beberapa hal sangat menyengat. Asapnya memenuhi langit-langit "kantor". Asap yang dapat mencemari indahnya dunia kerja. 

Menjadi pemenang bagi sebagian orang adalah bukti prestasi dan harga diri. Hal itu bisa memberi ruang bagi yang ambisius untuk melakukan apa saja. Bertindak putih, hitam, dan bahkan abu-abu. Warna yang dipilih akan menentukan apakah ia semakin mendekat atau menjauh dari pusat kebaikan.

Dinamika dunia kerja yang sangat dinamis memberi ruang yang sangat terbuka untuk berkompetisi. Tinggal kita memutuskan, apakah berkompetisi secara putih, hitam, atau abu-abu. Pilihan itu yang akan mendominasi rasa ketika keluar sebagai pemenang. Rasa syukur atau mawas diri.

Ketiga pergaulan. Dengan siapa kita bergaul sangat menentukan apakah kita semakin mendekat dengan pusat kebaikan atau malah membawa kita semakin dalam asyik masyuk dengan syahwat dunia. Tak jarang teman sepergaulan membawa kepada hal-hal di luar kehendak. Solidaritas dan pertemanan dijadikan benteng. Takut ditinggalkan dan kehilangan teman mengokohkan tindakan. Dengan siapa kita bergaul akan memberi warna apakah kita memiliki warna putih, hitam, atau abu-abu. 

Memilah dan memilih tindakan  menjadi hal yang sangat krusial. Hasil pilihan itu yang akan memberi warna. Kebijakan dan ketegasan dapat membantu. Risiko tentu ada. Setiap pilihan tentu dibersamai risiko. Kesanggupan dan konsekuensi atas pilihan yang akan menentukan apakah kita layak bersyukur atau justru harus mawas diri.

Berubahlah untuk semakin mendekati pusat kebaikan selagi ada kesempatan. Karena akan ada masa ketika ingin berubah, tetapi waktu tak lagi ada.*)

Komentar

  1. Keren dengan ungkapan " berubahlah untuk semakin mendekati pusat kebaikan"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pa Eman semoga kita semakin mendekati pusat kebaikan...bismillah...

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tumamprak

PEMBELAJARAN DARING YANG EFEKTIF DAN MENYENANGKAN

Nu Nyiar Ubar