Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2022

Rembulan Terbelah

Semilir angin meniup daun-daun. Pucuk suplir terangguk anggun. Sumringah membalas sapaan sang bayu. Senja yang sungguh memesona.  Sepasang mata tak berkedip menikmati keindahan itu. Benarkah mata itu menikmati pesona cumbuan .angin di pucuk suplir? Kenyataannya tak  begitu. Inong yang tengah duduk di teras, menunggu keringatnya kering setelah merapikan halaman depan. Meski matanya tak mau lepas menatap pucuk-pucuk suplir yang menari seirama angin, tapi pikirannya tak di situ. Mengembara nun jauh ke seberang. Terbelenggu pada sosok yang sekarang entah di mana. Seharian ini Inong hanya menunggu dan menunggu. Sepanjang siang sampai menjelang senja tak ada notifikasi masuk dari orang yang dinanti. Mengapa? Sibukkah? Tak adakah sepotong ingatan terselip di batang otaknya di igir hatinya kepadaku? Inong mengusap bening yang hampir luruh di pipinya. Tak hendak ia menurutkan kegundahan hatinya. Bersegera memusatkan hati dan pikiran. Azan magrib yang berkumandang menjeda gundah hatinya. "M

Rembulan Merindu

Padang mawar merah itu kian memesona. Merahnya  menyilaukan. Wanginya memabukkan. Inong bergeming, hatinya terpatri di situ. Tak hendak beranjak barang seinci. Kemilau keindahan yang tak kuasa ia tolak atau memang tak mau ia tolak. Inong menyadari posisi dirinya.  Paham betul kekurangan dan keinginan diri. Masalah timbul ketika ia ngotot memposisikan diri bukan pada posisinya. Apakah karena ia terlalu memegang teguh rasa keadilan atau memang makna keadilan yang gagal ia pahami. Inong merasa sudah benar berada pada posisinya, tetapi ia merasa tidak diperlakukan sesuai posisinya. Wajar jika begitu banyak tanya di benak Inong atas fakta bahwa dirinya bukan prioritas. Ia tak biasa menerima  perlakuan itu. Jadi sangat sulit bagi Inong untuk menerima bahwa ia tak sepenting itu untuk berada di situ. Ada begitu banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Mengesampingkan harga diri. Membuang prinsip-prinsip hidup yang selama ini ia agungkan. Kadang Inong merasa ingin pergi menjauh, tapi hatinya te

Rembulan Luruh ke Pangkuan

Setapak demi setapak Inong menapaki undakan rasa. Begitu berwarna hidupnya kini. Merah jingga kuning hijau biru nila ungu. Pelangi rasa itu silih berganti menghiasi hari-harinya. Semarak memesona sehamparan padang mawar.  Pernah satu masa Inong tak bisa menikmati semua keindahan itu. Hati dan pikirannya terlalu galau. Ambigu. Membiarkan mata hatinya terpesona atau menutup mata untuk semua keindahan. Sampai kapan ia kan membiarkan perang batin itu berkecamuk. Meluluhlantakkan semua yang dimilikinya. Hidupnya ia pertaruhkan untuk sesuatu yang ia sendiri tak pernah tahu ujungnya. Terlalu berani ia jalani hari-harinya tanpa ada sesuatu yang bisa ia pegang kala tergelincir. Satu kata ajaib itu saja tak kan cukup baginya tuk mampu bertahan. Butuh ribuan kata lain agar membuatnya lebih yakin.  "Masih belum percaya? Harus bagaimana lagi membuktikannya? Tak cukupkah yang telah kulakukan selama ini?" suara itu kembali terdengar jelas di gendang telinganya bergaung di relung kalbu. Meng