Rembulan Terbelah
Semilir angin meniup daun-daun. Pucuk suplir terangguk anggun. Sumringah membalas sapaan sang bayu. Senja yang sungguh memesona. Sepasang mata tak berkedip menikmati keindahan itu. Benarkah mata itu menikmati pesona cumbuan .angin di pucuk suplir?
Kenyataannya tak begitu. Inong yang tengah duduk di teras, menunggu keringatnya kering setelah merapikan halaman depan. Meski matanya tak mau lepas menatap pucuk-pucuk suplir yang menari seirama angin, tapi pikirannya tak di situ. Mengembara nun jauh ke seberang. Terbelenggu pada sosok yang sekarang entah di mana. Seharian ini Inong hanya menunggu dan menunggu. Sepanjang siang sampai menjelang senja tak ada notifikasi masuk dari orang yang dinanti. Mengapa? Sibukkah? Tak adakah sepotong ingatan terselip di batang otaknya di igir hatinya kepadaku? Inong mengusap bening yang hampir luruh di pipinya. Tak hendak ia menurutkan kegundahan hatinya. Bersegera memusatkan hati dan pikiran. Azan magrib yang berkumandang menjeda gundah hatinya.
"Maaf baru bisa kirim kabar. Hari ini agenda sangat padat. Semoga semua baik-baik saja. Tolong jangan berpikir yang bukan-bukan! Semua masih sama tak ada yang mengurangi rasa." Hati Inong kembali utuh. Ia sampai pada kesimpulan bahwa semua ada waktunya. Daun yang jatuh pun ada waktunya. Sekarang waktu berpihak padanya. Mawar kembali merekah.
Komentar
Posting Komentar