Rembulan di Pucuk Cemara

Inong mengusap wajahnya pada salam terakhir. Sekaligus menghapus air mata yang berebut ke luar. Menderas. Lalu luruh di pangkuan membasahi mukena yang dikenakan. Penyerahan dirinya secara utuh pada sang Pencipta perlahan menahan air sebening kristal itu tidak sampai menganak sungai.

Perjuangan menjaga hati dan pikiran tetap on the track sungguh menguji daya lentingnya. Jiwa raga berjibaku mengawal kewarasan agar tak terbang bersama prasangka. Pikirannya berujar, "Inong, semua baik-baik saja. Tak ada yang terjadi dengannya. Sungguh ia masih menyayangimu! Tetapi, hati kecilnya berbisik lirih jika ia masih menyayangiku mengapa tega membiarkanku menunggu sepanjang waktu?" Pergulatan hati dan pikiran itu berlangsung sebanyak helaan napas. Keduanya tak ada yang mau mengalah. Itu sangat menguras energi, hampir membuatnya gila.

Suara seseorang mengumandangkan tahrim menerobos tidurnya yang gelisah. Inong perlahan membuka kelopak mata. Mengumpulkan segenap kesadaran. Menggenapkan hati dan pikiran. Pesan yang masuk ke gawainya di subuh yang syahdu sungguh menentramkan. Menyibakkan mendung yang menggelayut di relung kalbu. Dari tirai jendela kamar tampak rembulan di pucuk  cemara. Inong tersenyum mendapati pikiran yang kembali putih. Hatinya kian memerah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tumamprak

PEMBELAJARAN DARING YANG EFEKTIF DAN MENYENANGKAN

Nu Nyiar Ubar